Pemberian bantuan hukum dilaksanakan terhadap semua permasalahan-permasalahan hukum yang menyangkut orang miskin dan kelompok rentang, baik perkara pidana, perdata maupun perkara tata usaha negara. Advokasi bantuan hukum meliputi, baik sebagai tersangka/Terdakwa maupun korban tindak pidana, penggugat maupun tergugat.
Untuk memperoleh bantuan hukum dari LBH Yusuf, pemohon bantuan hukum harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus BLBI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa gugatan praperadilan itu sebagai wujud penolakan atas SP3 tersebut.
"LBH Yusuf menempuh jalur legal dengan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya.
KPK mengeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus BLBI. Penerbitan SP3 itu secara otomatis menggugurkan status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI tersebut.
Penerbitan SP3, menurut dia, juga menjadi yang pertama dalam sejarah berdirinya lembaga antirasuah tersebut yang sebelumnya dikenal cukup garang.
Penerbitan SP3 menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk LBH Yusuf.
"Sebagai yayasan berbadan hukum yang didirikan dalam rangka ikut aktif mengawal dunia penegakan hukum di Tanah Air, LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut," katanya.
Kedudukan hukum (legal standing) LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan praperadilan ini, menurut dia, cukup terang. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor saja yang bisa mengajukannya, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi, korban, atau pelapor, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama.
Ia mencontohkan perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
Ketentuan tersebut menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam mengajukan gugatan praperadilan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang dinilai mencederai hati nurani rakyat Indonesia.
"Sidang perdana terhadap gugatan praperadilan tersebut akan digelar pada hari Senin, 26 April 2021, di PN Jakarta Selatan mulai pukul 09.00 WIB," ujarnya.
BORNEONEWS, Jakarta - LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus BLBI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain mengatakan gugatan praperadilan itu sebagai wujud penolakan atas SP3 tersebut.
"LBH Yusuf menempuh jalur legal dengan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya, Kamis 22 April 2021.
KPK mengeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus BLBI. Penerbitan SP3 itu secara otomatis menggugurkan status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI tersebut.
Penerbitan SP3 juga menjadi yang pertama dalam sejarah berdirinya lembaga antirasuah tersebut yang sebelumnya dikenal cukup garang. Penerbitan SP3 menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk LBH Yusuf.
"Sebagai yayasan berbadan hukum yang didirikan dalam rangka ikut aktif mengawal dunia penegakan hukum di Tanah Air, LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut," katanya.
Kedudukan hukum (legal standing) LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan praperadilan ini, menurut dia, cukup terang. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor saja yang bisa mengajukannya, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi, korban, atau pelapor, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama.
Ia mencontohkan perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
Ketentuan tersebut menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam mengajukan gugatan praperadilan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang dinilai mencederai hati nurani rakyat Indonesia.
"Sidang perdana terhadap gugatan praperadilan tersebut akan digelar Senin 26 April 2021 di PN Jakarta Selatan mulai pukul 09.00 WIB," ujarnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim dalam kasus BLBI.
Penerbitan SP3 ini, secara otomatis menggugurkan status tersangka yang sempat disematkan ke pemilik BDNI tersebut.
Penerbitan SP3 ini lantas menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk LBH Yusuf.
LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut dengan menempuh jalur legal dan mengajukan gugatan pra peradilan di PN Jakarta Selatan.
"LBH Yusuf berpandangan bahwa Penerbitan SP3 tersebut bertentangan terhadap hukum dan keadilan, serta menciderai hati nurani rakyat Indonesia, khususnya menciderai Hati Nurani LBH Yusuf selaku Yayasan Lembaga Bantuan Hukum yang Peduli akan Penegakan Hukum dan Keadilan di Indonesia," ujar Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain, kepada wartawan, Kamis (22/4/2021).
"LBH Yusuf dengan ini menyatakan menolak dan menuntut pembatalan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim melalui gugatan prapid," imbuhnya.
Mirza mengatakan legal Standing LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan Prapid ini cukup terang.
Dia merujuk kepada Pasal 80 KUHAP, yang menyebutkan 'Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya'.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 76/PUU-X/2012, yang dimaksud frasa 'pihak ketiga yang berkepentingan' dalam Pasal 80 KUHAP bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
"Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi korban atau pelapor saja tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama yaitu untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy)," kata Mirza.
"Ketentuan tersebut yang menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam dalam mengajukan gugatan Prapid terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang mencederai hati Nurani rakyat Indonesia," tandasnya.
Adapun sidang perdana terhadap gugatan Prapid tersebut akan digelar di PN Jakarta Selatan, Senin (26/4) mendatang.
Sebagaimana diketahui, kasus BLBI berawal dari adanya investigasi BPK terkait penyaluran dan penggunaan dana BLBI pada tahun 2000.
BPK menemukan bahwa Negara mengalami kerugian hingga Rp 138,7 Triliun. Dari total kerugian tersebut Sjamsul Nursalim merugikan negara sebesar Rp 4,8 Triliun.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul LBH Yusuf Ajukan Gugatan Praperadilan SP3 Kasus BLBI, Ini Alasannya, https://www.tribunnews.com/nasional/2021/04/22/lbh-yusuf-ajukan-gugatan-praperadilan-sp3-kasus-blbi-ini-alasannya.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Johnson Simanjuntak
Merdeka.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sidang perdana diagendakan digelar Senin (26/4).
Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain mengatakan, bahwa gugatan praperadilan itu sebagai wujud penolakan atas SP3 tersebut.
"LBH Yusuf menempuh jalur legal dengan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Yusuf, Jakarta, Kamis (22/4). Dikutip dari Antara.
KPK mengeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus BLBI. Penerbitan SP3 itu secara otomatis menggugurkan status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI tersebut.
Penerbitan SP3, menurut dia, juga menjadi yang pertama dalam sejarah berdirinya lembaga antirasuah tersebut yang sebelumnya dikenal cukup garang. Penerbitan SP3 menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk LBH Yusuf.
"Sebagai yayasan berbadan hukum yang didirikan dalam rangka ikut aktif mengawal dunia penegakan hukum di Tanah Air, LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut," katanya.
Kedudukan hukum (legal standing) LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan praperadilan ini, menurut dia, cukup terang. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor saja yang bisa mengajukannya, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi, korban, atau pelapor, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama.
Ia mencontohkan perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
Ketentuan tersebut menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam mengajukan gugatan praperadilan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang dinilai mencederai hati nurani rakyat Indonesia.
"Sidang perdana terhadap gugatan praperadilan tersebut akan digelar pada hari Senin, 26 April 2021, di PN Jakarta Selatan mulai pukul 09.00 WIB," ujarnya. [cob]
Suara.com - LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus BLBI oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Direktur LBH Yusuf Mirza Zulkarnain dalam keterangan persnya di Jakarta, Kamis, mengatakan bahwa gugatan praperadilan itu sebagai wujud penolakan atas SP3 tersebut.
"LBH Yusuf menempuh jalur legal dengan mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," katanya.
KPK mengeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, dalam kasus BLBI. Penerbitan SP3 itu secara otomatis menggugurkan status tersangka yang sempat disematkan kepada pemilik BDNI tersebut.
Penerbitan SP3, menurut dia, juga menjadi yang pertama dalam sejarah berdirinya lembaga antirasuah tersebut yang sebelumnya dikenal cukup garang.
Penerbitan SP3 menimbulkan reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk LBH Yusuf.
"Sebagai yayasan berbadan hukum yang didirikan dalam rangka ikut aktif mengawal dunia penegakan hukum di Tanah Air, LBH Yusuf menolak dan menuntut pembatalan terhadap dikeluarkannya SP3 kasus tersebut," katanya.
Kedudukan hukum (legal standing) LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan praperadilan ini, menurut dia, cukup terang. Berdasarkan Pasal 80 KUHAP, bukan hanya saksi korban tindak pidana atau pelapor saja yang bisa mengajukannya, tetapi harus juga diinterpretasikan secara luas.
Dengan demikian, interpretasi mengenai pihak ketiga dalam pasal a quo tidak hanya terbatas pada saksi, korban, atau pelapor, tetapi juga harus mencakup masyarakat luas yang dalam hal ini bisa diwakili oleh perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama.
Ia mencontohkan perkumpulan orang yang memiliki kepentingan dan tujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy).
Ketentuan tersebut menjadi basis yuridis bahwa LBH Yusuf mempunyai legal standing dalam mengajukan gugatan praperadilan terhadap penerbitan SP3 kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Sjamsul Nursalim yang dinilai mencederai hati nurani rakyat Indonesia.
"Sidang perdana terhadap gugatan praperadilan tersebut akan digelar pada hari Senin, 26 April 2021, di PN Jakarta Selatan mulai pukul 09.00 WIB," ujarnya. (Antara)
Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19, mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan. Pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
“Seharusnya, penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi, jika korporasi
terbukti merencanakan penimbunan, maka harus diproses sebagaimana mestinya.”
Sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah, karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan, baik untuk preventif maupun restoratif.
“Biasanya, tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosialpolitik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu, pemerintah telah mengeluarkan beberapa Undang-Undang (UU) terkait masalah penimbunan.”
Pertama, adalah UU N0 29 Tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Dalam UU tersebut, yang dimaksud penimbun
adalah, siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2). Ancaman pidananya adalah penjara selama lima tahun dan denda. Kemudian lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam UU tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya, sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).
Kedua UU tersebut, merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastic, dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat, seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain
sebagainya.
Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015 : Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi, serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah, barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/ atau barang penting. Alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai UU tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan,
bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan.
Oleh sebab itu perlu upayaupaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku. Dari berbagai UU dan peraturan di atas, yang dimaksud
pelaku adalah, orang perorangan atau badan hukum (korporasi). Terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana
kurungan, denda, maupun sanksi administrasi. Terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek
hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi sebagai subjek pidana, dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia
dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955. Pasal 15 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi mengatur hal berikut ini.
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap keduaduanya”.
Menggunakan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”. Sedang bila korporasi sebagai pelaku, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana? Dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham. Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.
“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan telah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang
digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus.”
Dengan doktrin corporate veil tersebut, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham. Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabuhi kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder. Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana
pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air. Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba
korporasi adalah pemegang saham.
Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham. Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkan-nya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan Negara.”
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana. Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu, baik sementara maupun selamanya.
“Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain.”
(*) Pakar Hukum Pidana Korporasi. Peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta
Jakarta, Gatra.com – Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir meminta aparat kepolisian menindak korporasi yang diduga menimbun oksigen, obat-obatan, alat kesehatan (alkes), hingga barang di tengah melonjaknya kebutuhan untuk sektor kesehatan, khususnya bagi pasien Covid-19.
Ari dalam keterangannya kepada wartawan pada Rabu (21/7), menyampaikan, aparat kepolisian jangan hanya menindak individu atau perorangan yang diduga melakukan penimbunan berbagai kebutuhan tersebut.
Doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu menegaskan, para penimbun itu semuanya harus ditindak tegas karena masyarakat sangat kesulitan untuk mendapatkan oksigen, obat-obatan, dan alkes serta dihantui terpapar Covid-19.
"Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit," ujarnya.
Karena itu, lanjut Ari, pemerintah telah menerbitkan beberapa undang-undang (UU) terkait masalah penimbunan, yakni UU No. 29 Tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting.
Sesuai Pasal 2 UU tersebut, penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri. Pelaku penimbunan diancam pidana penjara selama 5 tahun dan denda.
Selanjutnya, UU No 1 Tahun 1953, juncto UU No. 17/Drt/1951. UU ini juga mengatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan sebagaimana Pasal 2.
Menurutnya, kedua UU di atas merupakan respons atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat, seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Sementara itu, Pasal 1 Perpres. No 71 Tahun 2015: Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas lagi Pasal 29 Ayat (1) UU Perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Larangan tersebut, ujar Ari, dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan atau barang penting.
Menurut Ari, Alkes termasuk oksigen masuk dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi.
Bukan hanya itu, penimbunan akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan. Oleh sebab itu, perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku.
Ari menjelaskan, dari berbagai UU dan peraturan di atas, pelaku penimbunan bisa perorangan dan korporasi atau badan hukum. Adapun sanskinya berupa pidana kurungan, denda maupun administrasi.
Korporasi atau badan usaha merupakan subjek hukum sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban pidana jika melakukan perbuatan yang dikategorikan perbuatan pidana. Ketentuan ini telah diadopsidalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam UU Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.
Ia melanjutkan, Pasal 15 UU No. 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi: Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya.
Menggunakan ketentuan Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum, baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”.
Sedang bila korporasi sebagai pelaku, ujar Ari, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Lantas, siapakah pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Ari menyampikan, dalam praktik bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham memengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham.
Menurutnya, para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali.
"Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas," ungkapnya.
Adapun doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 Tahun 2007, yakni corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus.
Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham.
Kemudian, mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabui kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alkes, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di Tanah Air.
Menurutnya, karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham, maka ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) UU No 40 Tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
"Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara," ujarnya.
Sedangkan korporasi atau digunakan pemegang saham untuk melakukan tindak pidana, menurut Ari, korporasi tersebu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu, baik sementara maupun selamanya.
"Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain," kata Ari.
https://www.gatra.com/detail/news/517686/hukum/polisi-harus-tindak-korporasi-penimbun-oksigen
jpnn.com, JAKARTA - Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19 mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan.
Menanggapi hal ini, pakar pidana korporasi Ari Yusuf Amir menekankan pentingnya penegakan hokum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
“Seharusnya penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi jika korporasi terbukti merencanakan penimbunan maka harus diproses sebagaimana mestinya,” kata Ari.
Peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang disertasinya membahas pidana korporasi ini mengatakan, sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan baik untuk preventif maupun restoratif.
“Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang terkait masalah penimbunan,” kata Ari.
Pertama adalah UU N0 29 tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2). Ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda.
Kemudian lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).
Kedua undang-undang tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015 : Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan. Oleh sebab itu perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku.
Dari berbagai undang-undang dan peraturan di atas, yang dimaksud pelaku adalah orang perorangan atau badan hukum (korporasi). Terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana kurungan, denda, maupun sanksi administrasi.
Terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi sebagai subjek pidana dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.
Pasal 15 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi mengatur hal berikut ini:
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.
Menggunakan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana.
Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”. Sedang bila korporasi sebagai pelaku, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?
Ari menjelaskan dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham. Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.
“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus,” ujarnya.
Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham. Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabuhi kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air. Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham. Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” kata Ari.
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya. “Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” ujar Ari. (dil/jpnn)
Artikel ini telah tayang diJPNN.comdengan judul
"Marak Kasus Penimbunan Obat, Pakar Hukum Minta Aparat Selidiki Keterlibatan Korporasi",
https://www.jpnn.com/news/marak-kasus-penimbunan-obat-pakar-hukum-minta-aparat-selidiki-keterlibatan-korporasi
KBRN, Jakarta: Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir menekankan tentang pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
Hal itu dia ungkapkan dalam menanggapi melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19, sehingga mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan.
“Seharusnya penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi jika korporasi terbukti merencanakan penimbunan maka harus diproses sebagaimana mestinya,” kata Ari, Rabu (21/7/2021).
Sebab menurut peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang disertasinya membahas pidana korporasi ini mengatakan, sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan baik untuk preventif maupun restoratif.
“Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang terkait masalah penimbunan,” ujar Ari.
Pertama, lanjut dia, adalah UU N0 29 tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting. Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2). Ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda.
Kemudian, tambah dia, lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951. Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).
Dijelaskannya bahwa kedua undang-undang tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Adapun Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015 menyatakan: Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat. Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas lagi kata dia, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Diingatkan dia bahwa alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut. Sebab tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan.
"Oleh sebab itu perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku," tandasnya.
Dari berbagai undang-undang dan peraturan di atas, tambahnya, yang dimaksud pelaku adalah orang perorangan atau badan hukum (korporasi). Terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana kurungan, denda, maupun sanksi administrasi.
Sementara terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi sebagai subjek pidana dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.
"Pasal 15 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi mengatur hal berikut ini. Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya,” urainya.
Adapun jika menggunakan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”. Sedang bila korporasi sebagai pelaku, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?
Ari menjelaskan dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham. Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris. Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.
“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus,” ujarnya.
Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham. Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabuhi kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, tekan dia, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air. Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham. Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
“Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” imbuh Ari.
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya.
“Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” tukas Ari.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19 mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan.
Terkait hal ini, Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir menekankan pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang.
“Seharusnya penegakan hukum tidak hanya menyasar pelaku individu ataupun perorangan. Namun juga menyasar korporasi jika korporasi terbukti merencanakan penimbunan maka harus diproses sebagaimana mestinya,” kata Ari kepada wartawan, Rabu (21/7/2021).
Peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang disertasinya membahas pidana korporasi ini mengatakan, sejak awal pandemi pada awal tahun 2020 lalu, selain dihantui kecemasan tertular virus, masyarakat juga masih harus menanggung penderitaan yang lebih parah karena kelangkaan barang, obat, dan alat kesehatan yang dibutuhkan baik untuk preventif maupun restoratif.
“Biasanya tindakan menimbun dilakukan bila ada situasi genting, seperti gejolak sosial-politik maupun wabah penyakit. Oleh sebab itu pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang terkait masalah penimbunan,” kata Ari.
Pertama adalah UU N0 29 tahun 1948 tentang Pemberantasan Penimbunan Barang Penting.
Dalam undang-undang tersebut, yang dimaksud penimbun adalah siapapun selain pedagang (atau petani) yang mempunyai atau menyimpan barang penting lebih dari pada guna pemakaian sendiri (Pasal 2).
Ancaman pidananya adalah penjara selama 5 tahun dan denda.
Kemudian lahir UU No 1 tahun 1953, Jo UU No 17/Drt/1951.
Dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan tentang penimbunan, yaitu dilarang mempunyai persediaan barang dalam pengawasan dengan tiada surat izin oleh Menteri atau instansi yang ditunjuk olehnya sejumlah yang lebih besar daripada jumlah yang ditetapkan pada waktu penunjukan barang itu sebagai barang dalam pengawasan (Pasal 2).
Kedua undang-undang tersebut merupakan respon atas kondisi ekonomi Indonesia yang mengalami penurunan secara drastis dikarenakan tingkat inflasi dunia yang sangat tinggi, rusaknya pelaksanaan perlengkapan sandang pangan, dan di samping banyaknya kejahatan-kejahatan di bidang ekonomi yang dilakukan oleh para pejabat negara maupun masyarakat seperti penimbunan barang, pencatutan, dan lain sebagainya.
Pasal 1 Perpres. No 71 tahun 2015 : Barang Kebutuhan Pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.
Barang Penting adalah barang strategis berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
Lebih tegas, Pasal 29 ayat (1) UU perdagangan mengatur pelaku usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang.
Larangan tersebut di maksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Alat kesehatan termasuk oksigen ada dalam cakupan berbagai undang-undang tersebut.
Tindakan penimbunan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan memanfaatkan kondisi kedaruratan, bukan hanya membahayakan nyawa orang lain, tetapi juga mengakibatkan gejolak ekonomi, dan pada ujungnya akan membahayakan pemerintahan yang sah, karena akan muncul anggapan publik bahwa pemerintah tidak becus menangani masalah kedaruratan.
Oleh sebab itu perlu upaya-upaya hukum maksimal untuk mengganjar pelaku.
Dari berbagai undang-undang dan peraturan di atas, yang dimaksud pelaku adalah orang perorangan atau badan hukum (korporasi).
Terhadap pelaku penimbunan dapat dikenai sanksi berupa sanksi pidana kurungan, denda, maupun sanksi administrasi. Terhadap pelaku yang berupa badan usaha, maka korporasi yang telah diakui sebagai subjek hukum, dianggap dapat melakukan perbuatan pidana dan karena itu dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Korporasi sebagai subjek pidana dan karena itu bisa dimintai pertanggungjawaban pidana telah diadopsi dalam sistem hukum di Indonesia dengan diundangkannya UU No. 17 tahun 1951 tentang Penimbunan Barang. Meskipun demikian, sistem ini baru dikenal luas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi pada tahun 1955.
Pasal 15 Undang-Undang No 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi mengatur hal berikut ini.
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya," ujarnya.
Menggunakan ketentuan Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, maka antara korporasi dan pengurus dapat dijadikan sebagai subjek hukum baik sebagai “pelaku”, “menyuruh” atau “turut serta” melakukan tindak pidana. Bila pengurus menjadi pelaku, maka korporasi dapat menjadi pihak yang “menyuruh” atau “turut serta”.
Sedang bila korporasi sebagai pelaku, maka pengurus dapat saja menjadi pihak yang “turut serta” atau “membantu” sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 KUHP.
Pertanyaan kemudian, siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana mewakili korporasi sebagai subjek hukum? Apakah hanya pengurus? Atau dapatkah “pejabat tinggi” korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?
Ari menjelaskan dalam praktek bisnis sudah lazim terjadi pemegang saham mempengaruhi pengurus korporasi untuk melakukan perbuatan untuk kepentingan pemegang saham.
Para pemegang saham pengendali melalui RUPS menempatkan orang-orang sebagai direksi dan komisaris.
Orang-orang yang oleh pemegang saham pengendali diberi jabatan strategis ini tidak lain adalah boneka dari pemegang saham pengendali dan menjalankan kebijakan pemegang saham pengendali tersebut.
“Hal itu dilakukan oleh pemegang saham, untuk memanfaatkan celah dalam UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin yang digunakan dalam UU No. 40 tahun 2007 adalah corporate veil, pemegang saham perseroan hanya bertanggungjawab atas saham yang disetor, dan melimpahkan beban pertanggungjawaban pidana kepada pengurus,” ujarnya.
Dengan doktrin corporate veil tersebut, Ari menjelaskan, para pemegang saham mempunyai peluang dalam melakukan tindakan hukum, antara lain: Menjadikan korporasi sebagai vihicle, menganggap direksi dan komisaris seakan-akan sebagai “pegawai” pemegang saham yang harus tunduk dan patuh pada pemegang saham.
Mengambil kebijakan yang menjadi wewenang direksi dan/atau dewan komisaris. Maraknya perjanjian nominee saham, untuk mengelabuhi kepemilkan saham yang sebenarnya. Membentuk holding company di bawah pengendalian ultimate shareholder.
Melihat kasus penimbunan barang berupa obat dan alat kesehatan, meski perbuatan tersebut dilakukan oleh pengurus, namun tidak menutup kemungkinan perbuatan pengurus itu atas perintah pemegang saham, sebagaimana pernah terjadi dalam beberapa kasus perbankan dan pembakaran lahan di tanah air.
Karena pihak yang paling diuntungkan terhadap laba korporasi adalah pemegang saham.
Dengan demikian, ada baiknya Polri tidak hanya menyidik pengurus namun juga pemegang saham.
Meminta pertanggungjawaban pidana pemegang saham, juga diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No 40 tahun 2007, dengan dimasukkannya doktrin piercing the corporate veil. Diadopsinya doktrin piercing the corporate veil dan dengan pendekatan hukum menggunakan doktrin alter ego memberi peluang pemegang saham yang melakukan penimbunan barang dan alat kesehatan yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
Ari Yusuf Amir, pengacara senior dan pakar hukum pidana korporasi
"Terhadap kasus penimbunan barang dan alat kesehatan, maka perlu diterapkan sanksi hukum maksimal, karena kejahatan tersebut bisa membahayakan keselamatan negara,” kata Ari.
Korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana itu perlu dipidana dengan pidana pokok berupa denda, pidana tambahan berupa kewajiban menyerahkan seluruh keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
Sanksi pidana tambahan juga bisa berupa menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dan terhadap korporasi penimbun barang dan alat kesehatan dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya.
“Terhadap pemegang saham, selain pidana kurungan dan denda, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain,” ujar Ari.
Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul Ari Yusuf Amir Minta Korporasi Penimbun Alat Kesehatan dan Obat saat Pandemi Dijerat Hukum Maksimal, https://jakarta.tribunnews.com/2021/07/21/ari-yusuf-amir-minta-korporasi-penimbun-alat-kesehatan-dan-obat-saat-pandemi-dijerat-hukum-maksimal?page=all.
Minggu, 10 Jan 2021 21:54 WIB
Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa terbunuhnya enam Laskar Forum Pembela Islam (FPI) yang mengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) pada 7 Desember 2020, mulai dibuka ke publik. Jumat (8/1), Komnas HAM merilis hasil pengumpulan data dan fakta yang telah diuji, dianalisis dan disimpulkan, serta direkomendasikan dalam sebuah laporan temuan hasil penyelidikan terhadap peristiwa penembakan di KM 50 ruas tol Jakarta-Cikampek (Japek).
Satu hal yang setidaknya lebih jelas bahwa dari enam Laskar FPI yang tewas, Komnas HAM menyatakan, terdapat empat korban yang didapatkan tewas akibat kekerasan dan penembakan dengan sengaja oleh polisi di luar mekanisme penegakan hukum yang seharusnya (unlawful killing). Bahkan sebelum dibunuh terungkap temuan pada tanda-tanda fisik yang menunjukkan bahwa keempat korban telah terlebih dahulu mengalami penyiksaan (torture).
Dalam bahasa Komnas HAM, keempat orang FPI ini masih hidup ketika dalam penguasaan resmi petugas negara. Namun kemudian tewas di tangan petugas tanpa ada upaya lain untuk mencegahnya. Oleh karena itulah tindakan petugas yang menyiksa dan mengakibatkan kematian anggota FPI tersebut merupakan bentuk pelanggaran HAM (serious violation of human rights).
Sementara itu, masih menurut versi Komnas HAM, dua Laskar FPI yang tewas lainnya merupakan akibat penghadangan terhadap petugas negara. Terjadi kontak senjata ketika itu, dan dua anggota FPI itu kemudian gugur.
Kesan yang ingin dibangun dari konstruksi cerita ini, bahwa dua orang yang tewas berkategori ' lawfull killing karena petugas negara sedang menegakkan hukum.
Hanya saja aktivitas penegakan hukum yang sedang dilakukan polisi pada saat itu adalah menguntit HRS sebagai terduga pelaku pembuat kerumunan di masa pandemi Covid 19. Cara dan prosedur penegakan hukum yang berbuntut pada kekerasan fisik secara berlebihan ini kemudian mengundang kontroversi, karena tidak sebanding dengan dugaan kesalahan para korban.
Harapannya, apabila terbukti terdapat pelanggaran HAM oleh kepolisian terkait dengan tewasnya empat Laskar FPI itu, tentu saja kita berharap agar kasus ini segera ditindaklanjuti melalui proses pemidanaan terhadap pelaku penembakan dan penyuruh (pemberi perintah) penembakan.
Tentu saja penegakan hukum yang fairness hanya bisa dilakukan jika laporan Komnas HAM ini ditindaklanjuti oleh Presiden Jokowi. Bagaimana pun Komnas HAM adalah government body yang memberikan rekomendasi hasil kerjanya hanya kepada Presiden sebagaimana amanat UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia.
Sebagai kepala negara tentu saja presiden sejatinya menindaklanjuti rekomendasi pemidanaan tersebut. Tentu tidak sepatutnya bagi presiden memberikan imunitas (melindungi orang agar terbebas dari hukuman) apabila proses pemeriksaan nantinya menemukan pihak yang menjadi aktor pemberi perintah terjadinya pelanggaran HAM ini.
Jika presiden tidak sigap, tanggap dan cepat dalam merespon dan menindaklanjuti laporan Komnas HAM ini, bukan tidak mungkin kasus ini akan di-peties-kan atau dibekukan. Alhasil tidak akan ada bedanya dengan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Kasus ini bisa serupa dimana aktor yang diusut hanyalah pelaku dan bukan penyuruh (dader).
Apabila proses penegakan hukum terhadap kasus ini lamban karena faktor terhentinya proses tindaklanjut di meja Presiden, wacana untuk menyeret kasus ini ke peradilan pidana internasional (International Criminal Court/ICC) akan memanas. Dan tentu saja hal ini akan menurunkan reputasi negeri ini di mata dunia.
Lebih dari itu, jika mau jujur maka pelaku atau eksekutor penembak bersama dengan penyuruh atau pemberi perintah membunuh, atau orang yang mendesain terjadinya peristiwa ini, untuk segera ditangkap dan ditahan polisi. Merekalah yang harus dikriminalisasi melalui proses pemidanaan yang fair-play untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran HAM yang dilakukannya.
Salah satu usulan terpenting untuk memulai proses pemidanaan terkait dengan tindaklanjut laporan Komnas HAM ini adalah institusi kepolisian harus fokus pada upaya menyelamatkan citra dan kepercayaan masyarakat. Caranya, konsentrasi saja pada pengungkapan oknum-oknum pemberi perintah dan pelaku pelanggar HAM ini.
Siapa pun pihak-pihak terduga pelaku dan penyuruhnya, sebaiknya segera dinonaktifkan dari kedudukan strukturalnya. Para individu ini harus diproses secara objektif dan bebas dari anasir tekanan dan intervensi pihak mana pun. Tidak boleh diberikan kesempatan adanya oknum pemberi perintah yang merekayasa kasus ini dengan membangun alibi bahwa petugas di lapangan membela diri sehingga sah membunuh. Padahal itu dilakukannya untuk menutupi rencana pembunuhan terhadap korban atas nama penegakan hukum.
Pemberi perintah dan pelaksana perintah adalah oknum Polri yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukumnya secara individual. Dengan cara tersebut maka citra institusi Polri dapat terselamatkan dari krisis kepercayaan, dan secara kelembagaan tetap berwibawa dalam mengemban tugas penegakan hukum.
Tantangan Kapolri baru
Kita tentu saja menaruh harapan besar kepada figur Kapolri mendatang untuk memiliki komitmen tinggi dan kesungguhan pada usaha penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM oleh jajaran kepolisian ini.
Penyidikan yang dilakukan menyusul rekomendasi Komnas HAM kepada presiden tersebut, hendaknya mendapatkan proteksi dari Kapolri agar bisa memastikan tidak adanya intervensi dari unsur pimpinan Polri lainnya yang dapat merusak objektifitas temuannya.
Pimpinan Polri yang baru hendaknya menunjukkan kepada publik bahwa siapa pun individu dalam tubuh Polri yang salah dalam penerapan hukum, prinsip, prosedur, tata cara, serta melanggar kaidah penegakan hukum yang mengakibatkan kematian warga negara harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya. Jadi institusi Polri tidak melindungi anggota Polri yang salah secara hukum dan tidak akan membebaskannya dari sanksi hukum.
Dengan demikian tidaklah benar anggapan di masyarakat selama ini bahwa Polri akan melindungi anggotanya yang terlibat dalam pelanggaran HAM terhadap enam Laskar FPI, kalau pun di proses maka hanya akan memproses pelaku di lapangan saja tanpa membongkar siapa figur pemberi perintahnya.
https://www.alinea.id/kolom/presiden-harus-menindaklanjuti-laporan-komnas-ham-b2cwr9zXV
Telah 20 tahun kami mengikuti kegiatan-kegiatan Habib Rizieq Shihab (HRS), dan selama itu tak ada satu pun kiprah dan tindakannya yang dapat diklasifikasikan mengancam keutuhan NKRI dan ideologi Pancasila. Sebaliknya, bila dicermati, justru ucapan dan tindakannya sangat tepat untuk digunakan bagi usaha memperkuat moral dan ketahanan bangsa dan negara yang tercinta ini.
Banyak sekali kiprah dan bakti beliau bersama para pengikutnya yang bermanfaat untuk bangsa dan negara, yang dilakukan tanpa pamrih. Semua dilakukannya di luar kedudukan formal dan tanpa dukungan fasilitas negara. Banyak sekali bukti tentang kiprahnya bersama organisasinya di lapangan, yang sangat konstruktif dan bermanfaat secara langsung bagi warga. Beberapa di antaranya adalah:
1. Aksi penyelamatan korban tsunami Aceh (2004), dan penggalangan kerjasama anggota masyarakat untuk membangun kembali Aceh pasca bencana. Warga Aceh mencatat dengan baik fakta ini.
2. Menjadi inisiator aktif di lapangan untuk menengahi para pihak yang bertikai dan mencari solusi dalam rangka upaya penyelesaian konflik horizontal di Poso (1998-2001) dan di Ambon (2002).
3. Berperan aktif sebagai tokoh masyarakat yang membantu aparat keamanan dalam penegakan hukum terhadap pelaku Peristiwa Tanjung Priok, Kampung Melayu, dan langkah penertiban sosial di jatinegara, Kali Jodo, seluruhnya di Jakarta.
4. Melakukan gerakan masif dalam rangka syiar agama untuk membangun toleransi di tengah keberagaman di Nusantara, dan menjadi bagian terpenting dalam aktivitas pendidikan nonformal yang diselenggarakan secara mandiri oleh organisasi nirlaba.
5. Ketika masyarakat Jakarta menderita karena musibah banjir, HRS pula yang membantu pemerintah dalam menyediakan Posko Banjir bagi warga yang terkena musibah sejak 2014.
Tentu masih banyak kiprah konstruktif HRS lainnya, seperti memotori pertemuan lintas etnis dan agama sejak 2006. Beliau juga inisiator dialog antarumat untuk memperkokoh toleransi beragama, kerjasama antarumat, dan menjaga kebhinekaan di negeri ini.
Ketokohan HRS terbentuk karena berlatar seorang pendidik. Sebelum dikenal luas sebagai pemimpin ormas FPI, beliau antara lain adalah kepala Madrasah Aliyah Jamiatul Khair. Daya kritis beliau merupakan ciri khas seorang yang berkecimpung di lapangan pendidikan.
Sejujurnya, HRS adalah tokoh dari kalangan informal yang menjadi penyeimbang bagi negara dalam menegakkan moral di masyarakat dan aktor negara dalam menyelenggarakan tatanan berbangsa dan bernegara dengan baik dan benar. Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan agenda politik di balik kiprahnya. Bahkan sejak 2004 jutaan warga FPI diberi kebebasan memilih siapapun dalam kontestasi politik, tanpa sekat-sekat keberpihakan.
Dia menjadi guru moral bagi umat yang mencintainya, dan di sisi lain beliau dianggap sebagai aktor yang mengganggu bagi keleluasaan pelaku praktek kebathilan di masyarakat dan negara, sehingga secara ekstrim kerap diasosiasikan sebagai musuh negara.
Suara kebenaran untuk menuntut keadilan yang disuarakannya dengan keras dan lantang dianggap sebagai perbedaan pendapat yang destruktif bagi sekelompok orang yang merasa merepresentasikan negara. Demo dan kritik yang disampaikannya, yang sejatinya sah dalam negara demokrasi, justru dikualifikasikan sebagai merongrong kekuasaan dan kewibawaan politik. Sikap ini disayangkan karena akan memundurkan kualitas demokrasi di negeri ini.
Faktanya, banyak pihak yang gelisah karena kritik dalam dakwah HRS yang selalu disampaikannya dalam bahasa yang lugas, tegas, penuh sindiran yang menyinggung perasaan dan wibawa semu. Namun semua itu bukanlah perbuatan melawan hukum dalam batas koridor konstitusi untuk kebebasan berpendapat di negeri ini.
Keberadaan tokoh sekaliber HRS dalam negeri demokrasi, tentu sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan dalam membangun kesejahteraan oleh negara. Beliau adalah aktor non-negara yang memiliki kepedulian yang bersifat evaluatif, konstruktif, dan kritis terhadap penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa. Seyogyanya aktor-aktor negara justru memberikan respek kepadanya sebagai mitra dialog guna mengoreksi kealpaan dan kelalaian.
Sekali lagi, HRS bukanlah MUSUH NEGARA.
Kecuali oleh sekelompok orang yang menghendaki praktik monopoli, yang merasa terganggu dalam memonopoli sumber daya negeri. Beliau sendiri selalu mendorong penegakan hukum terhadap anggota FPI yang melakukan pelanggaran hukum.
Seandainya pemerintah mau membuka dialog dengan HRS, dipastikan HRS akan membuka diri. Bagaimanapun selama ini HRS selalu bersedia berdialog dengan siapapun. Tentu saja sepanjang tidak ada “pemain”yang menodai upaya baik ini.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pencopotan sepihak jabatan Ketua IAI Jawa Tengah, Drs. Jamaludin Al J Effendi, M. Farm, Apt yang dilakukan oleh Pengurus Pusat (PP) IAI berujung berujung di meja hijau.
Sidang perdana Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diduga dilakukan oleh Pengurus Pusat (PP) IAI itu digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada Kamis (5/11/2020).
Dalam sidang perdana tersebut, Jamaludin Al J Effendi selaku prinsipal hadir langsung mengikuti sidang perdana Gugatan PMH yang tercatat dengan nomor Register 702/Pdt.G/2020/PN Jkt.Brt di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Gugatan PMH ini diajukan karena Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia dibawah Pimpinan apt. Drs. Nurul Falah Eddy Pariang selaku Tergugat memberhentikan Jamaludin selaku Penggugat.
Pemberhentian sepihak itu tertuang dalam Surat Keputusan No. Kep. 085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020.
Pemberhentian dilakukan dengan dalih Pengurus IAI Jawa Tengah tidak melaksanakan program SIAp dan dengan tegas menolak program SIAp berdasarkan Surat No. B2-A42/PD IAI/Jawa Tengah/I/2020 tertanggal 1 Juli 2020.
Tidak tinggal diam, Pengurus IAI Jawa Tengah bersama Lembaga Bantuan Hukum Yusuf melakukan perlawanan atas pemecatan yang dilakukan oleh Pengurus Pusat IAI.
Pasalnya, pemecatan sepihak tersebut dinilai dilakukan secara semena-mena.
Didampingi langsung oleh Sugito selaku Ketua Dewan Pengawas LBH Yusuf sekaligus Kuasa Hukum IAI Jawa Tengah, Jamaludin mengungkapkan rasa percaya dirinya.
Lewat jalur hukum yang ditempuhnya kini, pihaknya dapat memberikan pelajaran kepada Pengurus Pusat IAI agar tidak menjalankan organisasi secara semena-mena.
Selain itu tetap berpedoman pada konstitusi organisasi, baik Anggaran Dasar maupun Angaran Rumah Tangga (AD/ART) serta peraturan-peraturan terkait lainnya.
"Permasalahan ini tentunya berdampak pada jalannya organisasi IAI sendiri, khususnya berdampak kepada para anggota yang hak-haknya mulai tebengkalai, tidak terkecuali para anggota IAI di Jawa Tengah," ungkap Jamaludin.
"Namun demikian, upaya hukum yan ditempuh oleh Pengurus IAI Jawa Tengah sangatlah penting demi keberlangsungan organisasi yang demokratis dan harmonis dalam kesesuaian regulasi dan iplementasinya," tegasnya.
Menurutnya, Pengurus IAI Jawa Tengah bersama LBH Yusuf akan melakukan segala bentuk perlawanan terhadap Pengurus Pusat IAI yang tidak menjalankan organisasi sesuai dengan kaidah konstitusi IAI.
Sebab, lanjutnya, terdapat banyak kejanggalan terkait pemecatan dirinya.
Pertama, adanya unsur cacat prosedur serius.
Pemecatan dirinya sebagai ketua IAI Jawa Tengah tidak dilakukan melalui Konferensi Daerah Luar Biasa sebagai satu-satunya forum untuk memberhentikan ketua pengurus Daerah.
Pemecatan dilakukan hanya berbekal Rapat Pengurus Pusat (Rapenpus) yang notabenenya bukan merupakan forum untuk melakukan pemecatan.
"Rapenpus hanyalah forum koordinasi pengurus pusat," imbuhnya.
Kedua, Jamaludin menyampaikan aspirasi anggota Jawa Tengah dalam bentuk nota keberatan sebagai bagian dari prosedur organisasi yang sah dan diatur dalam AD/ART IAI.
Tetapi pengurus IAI Pusat pada akhirnya justru memberikan reaksi brutal dengan melakukan surat pemecatan yang bukan merupakan kewenangannya.
Ketiga, ada kejanggalan yang memicu tanda tanya besar.
Pada saat rakornas, pengurus pusat yang dikomandani Nurul Falah Eddy Pariang (Tergugat) membuat Perjanjian Kerahasiaan (Non Disclosure Agreement) dengan semua peserta rakornas.
"Isinya tidak boleh menyebarluaskan informasi apapun mengenai material yang terkait dengan rakornas IAI Virtual 2020. Perjanjian kerahasiaan tersebut memicu pertanyaan besar ada dibalik itu semua," ungkap Jamaludin.
"Sementara Kongres adalah forum public yang siapapun berhak tahu," tambahnya.
Jamaludin yakin, majelis hakim yang menangani gugatannya akan memberikan keadilan sebagaimana fakta yang terjadi.
Dengan demikian dirinya berharap IAI tidak dikelola secara sewenang-wenang dan dapat menjadi rumah besar yang mendukung kepentingan seluruh anggota dalam memberikan manfaat bagi masyarakat.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Berujung di Meja Hijau, Sidang Perdana Gugatan Pencopotan Ketua IAI Jateng Digelar di PN Jakbar, https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/05/berujung-di-meja-hijau-sidang-perdana-gugatan-pencopotan-ketua-iai-jateng-digelar-di-pn-jakbar?page=all.
Editor: Dwi Rizki
telusur.co.id - Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah IAI Jawa Tengah menghadiri sidang perdana Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Kamis (5/11/20).
Dalam sidang perdana ini, Jamaludin Al J Effendi selaku prinsipal hadir langsung mengikuti sidang perdana Gugatan PMH yang tercatat dengan nomor Register 702/Pdt.G/2020/PN Jkt.Brt di Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
Gugatan PMH ini diajukan karena Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia di bawah Pimpinan apt. Drs. Nurul Falah Eddy Pariang (Tergugat) memberhentikan Ketua IAI Jawa Tengah Drs. Jamaludin Al J Effendi, M. Farm., Apt (Penggugat) Surat Keputusan No. Kep. 085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020 dengan dalih Pengurus IAI Jawa Tengah tidak melaksanakan program SIAp dan dengan tegas menolak program SIAp berdasarkan Surat No. B2-A42/PD IAI/Jawa Tengah/I/2020 tertanggal 1 Juli 2020.
Tidak tinggal diam, Pengurus IAI Jawa Tengah dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Yusuf melakukan perlawanan atas pemecatan yang dilakukan oleh Pengurus Pusat IAI secara semena-mena.
Perlawanan Pengurus IAI Jawa Tengah pun dilakukan melalui meja hijau. Didampingi langsung oleh Sugito, S.H., M.H. selaku Ketua Dewan Pengawas LBH Yusuf sekaligus Kuasa Hukum IAI Jawa Tengah. Pengurus IAI Jawa Tengah percaya diri dapat memberikan pelajaran berarti kepada Pengurus Pusat IAI agar tidak menjalankan organisasi secara semena-mena, dan tetap berpedoman pada konstitusi organisasi, baik Anggara Dasar maupun Angaran Rumah Tangga serta peraturan-peraturan ainnya yang terkait.
"Permasalahan ini tentunya berdampak pada jalannya organisasi IAI sendiri, khususnya berdampak kepada para anggota yang hak-haknya mulai tebengkalai, tidak terkecuali para anggota IAI di Jawa Tengah. Namun demikian, upaya hukum yan ditempuh oleh Pengurus IAI Jawa Tengah sangatlah penting demi keberlangsungan organisasi yang demokratis dan harmonis dalam kesesuaian regulasi dan iplementasinya," ujar Jamaludin.
Menurutnya Pengurus IAI Jawa Tengah bersama LBH Yusuf akan melakukan segala bentuk perlawanan (yang dibenarkan secara hukum) terhadap kesewenang-wenangan Pengurus Pusat IAI dalam menjalankan roda organisasi yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konstitusi IAI serta ketentuan-ketentuan yang sudah tertuang ke dalam peraturan-peraturn organisasi.
Menurut Jamaludin ada banyak kejanggalan terkait pemecatan dirinya, Pertama, ada cacat prosedur serius. Pemecatan dirinya sebagai ketua IAI Jawa Tengah tidak dilakukan melalui Konferensi Daerah Luar Biasa sebagai satu-satunya forum untuk memberhentikan ketua pengurus Daerah. Pemecatan dilakukan hanya berbekal Rapat Pengurus Pusat (Rapenpus) yang notabenenya bukan merupakan forum untuk melakukan pemecatan. Rapenpus hanyalah forum koordinasi pengurus pusat.
Kedua, Jamaludin menyampaikan aspirasi anggota Jawa Tengah dalam bentuk nota keberatan sebagai bagian dari prosedur organisasi yang sah dan diatur dalam AD/ART IAI. Tetapi pengurus IAI Pusat pada akhirnya justru memberikan reaksi brutal dengan melakukan surat pemecatan yang bukan merupakan kewenangannya.
Ketiga, ada kejanggalan yang memicu tanda tanya besar. Pada saat rakornas, pengurus pusat yang dikomandani Nurul Falah Eddy Pariang (Tergugat) membuat Perjanjian Kerahasiaan (Non Disclosure Agreement) dengan semua peserta rakornas. Isinya tidak boleh menyebarluaskan informasi apapun mengenai material yang terkait dengan rakornas IAI Virtual 2020. Perjanjian kerahasiaan tersebut memicu pertanyaan besar ada dibalik itu semua. Sementara Kongres adalah forum public yang siapapun berhak tahu.
Jamaludin yakin, majelis hakim yang menangani gugatannya akan memberikan keadilan sebagaimana fakta yang terjadi. Dengan demikian IAI kedepan tidak dikelola secara sewenang-wenang dan dapat menjadi rumah besar yang mendukung kepentingan seluruh anggota dalam memberikan manfaat bagi masyarakat.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pengacara senior yang juga pakar hukum pidana korporasi Ari Yusuf Amir menerbitkan buku karyanya.
Buku pertama, berjudul 'Doktrin-doktrin Pidana Korporasi', sedangkan buku kedua berjudul 'Pidana Untuk Pemegang Saham Korporasi'.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Penerbit Arruzz Media ini dianalisis mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai subjek hukum pidana menurut hukum positif Indonesia.
Selain itu juga dianalisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Selain itu mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap pemegang saham korporasi yang berlaku dan idealnya diterapkan di masa yang akan datang.
“Diharapkan dua buku ini dapat memberikan manfaat teoritis akademis yang berguna bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana," jelas Ari Yusuf Amir dalam siaran tertulis pada Sabtu (18/7/2020).
Buku tersebut diharapkannya juga dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan.
Terlebih pengaturan sanksi pidana terhadap kejahatan korporasi yang dilakukan oleh pemegang saham atau yang berkaitan dengan penyempurnaan rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam buku berjudul 'Doktrin-doktrin Pidana Korporasi' Ari menjelaskan korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana.
Alasannya karena Undang-undang di luar KUHP menyatakan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pendapat tersebut didasari dengan teori pelaku fungsional, dengan mengacu Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Pelaku fungsional dijabarkan sebagai 'dilakukan oleh, untuk dan atas nama badan usaha'.
Buku ini, lanjut Ari juga membahas secara detail beberapa doktrin dalam hukum bisnis terkait pertanggungjawaban pidana korporasi.
“Selain doktrin hukum bisnis, juga dikaitkan dengan doktrin-doktrin hukum pidana, sehingga tulisan ini bisa disebut sebagai upaya mensinergikan dua pendekatan hukum,” ujar peraih gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Sementara di buku berjudul 'Pidana Untuk Pemegang Saham Koorporasi', Ari memaparkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) pada Pasal 3 ayat (1) menganut azas separate corporate personality .
Azas ini katanya memberi batas pemegang saham dengan perseroan terbatas sebagai legal entity tersendiri.
Namun demikian, UU PT juga membatasi kekuasaan pemegang saham.
Pembatasan itu tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang Nomor 40 Tahun 2007.
Lebih lanjut dipaparkannya, Imunitas pemegang saham dapat berubah menjadi kondisi piercing the corporate veil atau hilangnya imunitas.
Artinya pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, apabila terbukti tindakan perusahaan dipengaruhi oleh pemegang saham.
“Kondisi seperti itu dapat terjadi apabila pemegang saham menjadi alter ego,dimana pemegang saham menganggap perusahaan sebagai miliknya sendiri,” ujar Ari.
Menurut Ari UU PT dapat disebut sebagai Undang-undang induk di bidang korporasi.
Argumennya dipaparkannya terdapat pada Pasal 154 UU PT mengatur bahwa bagi perseroan terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini.
“Konseskuensi dari ketentuan Pasal 154 tersebut maka semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi mutatis mutandis tunduk pada UU PT,” terangnya.
Ari berpendapat perlunya merevisi semua undang-undang yang di dalamnya mengatur tentang korporasi, dengan memasukkan doktrin piercing the corporate veil dan doktrin alter egoke dalam perundang-undangan terkait korporasi.
Sehingga memberi peluang bagi pemegang saham yang melampaui kewenangannya (ultra vires) dan menggunakan korporasi untuk melakukan tindak pidana, dapat dimintai pertanggungjawaban.
Selain itu, lanjut Ari, bagi pemegang saham yang melakukan tindak pidana korporasi perlu diterapkan pidana tambahan berupa larangan (selamanya atau dalam jangka waktu tertentu) menjadi pemegang saham di korporasi lain.
Sementara korporasi yang melakukan tindak pidana dan/atau digunakan oleh pemegang saham untuk melakukan perbuatan pidana, maka dapat dikenakan pidana tambahan.
“Sanksi pidana tambahan untuk korporasi dapat berupa: Kewajiban menyerahkan keuntungan yang diperoleh selama masa korporasi tersebut melakukan tindak pidana, memperbaiki segala kerusakan yang ditimbulkan," jelas Ari.
"Menyita seluruh aset korporasi untuk negara, dilarang melakukan kegiatan tertentu baik sementara maupun selamanya, menghentikan kegiatan korporasi atau pencabutan izin baik dalam jangka waktu tertentu maupun selamanya,” urainya.
Buku ini mendapat apresiasi dari para tokoh nasional, seperti Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin, anggota dewan pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Artidjo Akostar, Kapolda Nusa Tenggara Barat Irjen Pol. M. Iqbal , Prof. Ridwan Khairandy dan Prof. Eddy Hiariej.
“Buku ini menjadi salah satu referensi yang diperlukan bagi seorang hakim dalam menghadapi kasus pidana korporasi,” tulis Ketua MA Syarifuddin di sampul buku ini. (*)
JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) digugatKetua Pengurus Daerah (PD) IAI Jawa Tengah, Jamaludin Al-J. Efendi. Gugatan ini dilakukan terkait pencopotan jabatan Jamaludin sebagai Ketua PD IAI Jawa Tengah secara sewenang-wenang oleh PP IAI.
Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat, 25 September 2020. Kuasa hukum Jamaludin, Sugito, mengungkapkan bahwa gugatan yang dilakukan kliennya adalah suatu langkah untuk mendapatkan keadilan. “Karena klien kami telah menjadi korban kesewenang-wenangan dari pengurus pusat IAI,” kata Sugito, pengacara senior dari LBH Yusuf ini kepada wartawan di Jakarta.
Sugito menjelaskan, pemecatan kliennya bermula ketika Jamaludin selaku Ketua Pengurus Daerah IAI Jawa Tengah periode 2018-2022 menyuarakan keresahan para apoteker se- Jawa Tengah terkait kebijakan pemberlakukan iuran salah satu Program PP IAI, yaitu penerapan aplikasi Sistem Informasi Apoteker (SIAp).
“Apoteker di Jawa Tengah sudah menyampaikan aspirasinya terkait pelayanan SIAp yang seharusnya tidak berbayar, karena layanan ini sudah menjadi tanggung jawab organisasi dalam melaksanakan pelayanan kepada anggotanya,” ujar Sugito.
Lebih lanjut Sugito mengatakan, pembiayaan harusnya bisa diambil dari iuran anggota dan sumber pemasukan lain yang diperoleh Pengurus Pusat IAI. Aspirasi anggota Pengurus Cabang (PC) IAI se- Jawa Tengah sudah disampaikan ke pengurus PD IAI Jawa Tengah dan pengurus PD menyampaikan ke PP IAI.
Ketua PD IAI Jawa Tengah dan Ketua PC IAI se-Jateng berpandangan, aplikasi SIAp merupakan fasilitas pelayanan administrasi bagi para Apoteker. Para Apoteker setiap bulan juga sudah membayar iuran anggota, sehingga mestinya para Apoteker tidak perlu lagi membayar iuran tambahan diluar iuran Anggota.
“Sebenarnya PD IAI Jawa Tengah dan PC IAI se-Jawa Tengah tidak keberatan menjalankan aplikasi SIAp, namun dengan syarat agar para Apoteker selaku anggota IAI tidak dikenai iuran tambahan selain iuran yang diatur dalam Peraturan organisasi (No. PO.004/PP.IAI/1822/XII/2018),” ucap Sugito.
Namun aspirasi ini dibalas PP IAI dengan dikeluarkannya Surat Peringatan I Nomor SP.002/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 1 Juli 2020, yang pada intinya menegur Ketua PD IAI Jawa Tengah untuk segera menerapkan Program Aplikasi SIAp di wilayah Jawa Tengah paling lambat dalam waktu 14 hari terhitung sejak tanggal 1 Juli 2020.
Surat Peringatan tersebut tidak disertai surat panggilan, sebagaiamana diatur dalam Peraturan Organisasi IAI Nomor PO.003/PP.IAI/1822/III/2019 tentang Sanksi Organisasi. Selanjutnya PD IAI Jawa Tengah menanggapi Surat Peringatan I tersebut dengan penegasan bahwa IAI Jawa Tengah menyambut baik pelaksanaan SIAp dengan beberapa hal yang harus diselesaikan, terutama masalah iuran yang harus dibayar setiap anggota.
“Namun lagi-lagi, IAI Pusat berbuat sewewang-wenang dengan mengirimkan Surat Pemberhentian kepada Jamaludin Al J Effendi Sebagai Ketua PD IAI Jawa Tengah (melalui Surat Keputusan Nomor Kep.085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020),” ungkap Sugito.
Sebelum melayangkan gugatan, lanjut Sugito, kliennya sudah berupaya untuk melakukan kominikasi dengan pengurus pusat sebagai itikad baik. Namun tidak pernah ada respon positif.
Usaha untuk mempertemukan Ketua PD IAI Jawa Tengah dengan Pengurus Pusat IAI juga sudah diupayakan oleh senior-senior apoteker, namun lagi-lagi tidak direspon positif oleh Pengurus Pusat IAI.
“Sehingga menurut penggugat satu-satunya jalan terbaik adalah dengan melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan,” ujar alumnus Universitas Islam Indonesia ini.
Terkait materi gugatan, Sugito menjelaskan, pihaknya menilai bahwa perbuatan PP IAI merupakan perbuatan melawan hukum. Untuk itu dalam tuntutan gugatan, pihaknya meminta agar surat keputusan pemberhentian Ketua IAI Jawa Tengah dinyatakan bertentangan dengan hukum. Pihaknya juga meminta Surat Keputusan Pemberhentian Nomor Kep.085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020 atas nama Jamaludin dibatalkan.
Kemudian mengembalikan jabatan Ketua Pengurus Daerah IAI Jawa Tengah Kepada Jamaludin. Selain itu meminta majelis hakim Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp600 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp1 miliar.
“Kita juga meminta majelis hakim menyatakan Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu atau Uit Voerbaar Bij Vooraad, walaupun ada bantahan, Banding maupun Kasasi,” tukas Sugito.
jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Daerah (PD) Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Tengah, Jamaludin Al-J. Efendi menggugat Pengurus Pusat (PP) IAI. Gugatan ini dilakukan terkait pencopotan jabatan Jamaludin sebagai Ketua PD IAI Jawa Tengah secara sewenang-wenang oleh PP IAI. Gugatan ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Jumat (25/9/20). Kuasa hukum Jamaludin, Sugito mengungkapkan bahwa gugatan yang dilakukan kliennya adalah suatu langkah untuk mendapatkan keadilan.
“Karena klien kami telah menjadi korban kesewenang-wenangan dari pengurus pusat IAI,” kata Sugito, pengacara senior dari LBH Yusuf ini kepada wartawan di Jakarta. Sugito menjelaskan, pemecatan kliennya bermula ketika Jamaludin selaku Ketua Pengurus Daerah IAI Jawa Tengah periode 2018-2022 menyuarakan keresahan para apoteker se-Jawa Tengah, terkait kebijakan pemberlakukan iuran salah satu Program PP IAI, yaitu penerapan aplikasi Sistem Informasi Apoteker (SIAp). “Apoteker di Jawa Tengah sudah menyampaikan aspirasinya terkait pelayanan SIAp yang seharusnya tidak berbayar, karena layanan ini sudah menjadi tanggung jawab organisasi dalam melaksanakan pelayanan kepada anggotanya,” ujar Sugito.
Lebih lanjut Sugito mengatakan, pembiayaan harusnya bisa diambil dari iuran anggota dan sumber pemasukan lain yang diperoleh Pengurus Pusat IAI. Aspirasi anggota Pengurus Cabang (PC) IAI se-Jawa Tengah sudah disampaikan ke pengurus PD IAI Jawa Tengah dan pengurus PD menyampaikan ke PP IAI. Sugito menjelaskan, Ketua PD IAI Jawa Tengah dan Ketua PC IAI se-Jateng berpandangan, aplikasi SIAp merupakan fasilitas pelayanan administrasi bagi para Apoteker.
Dan, katanya, para Apoteker setiap bulan juga sudah membayar iuran anggota, sehingga mestinya para Apoteker tidak perlu lagi membayar iuran tambahan diluar iuran Anggota. “Sebenarnya PD IAI Jawa Tengah dan PC IAI se-Jawa Tengah tidak keberatan menjalankan aplikasi SIAp, namun dengan syarat agar para Apoteker selaku anggota IAI tidak dikenai iuran tambahan selain iuran yang diatur dalam Peraturan organisasi (No. PO.004/PP.IAI/1822/XII/2018),” ucap Sugito.
Namun, aspirasi ini dibalas PP IAI dengan dikeluarkannya Surat Peringatan I Nomor SP.002/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 1 Juli 2020, yang pada intinya menegur Ketua PD IAI Jawa Tengah. Selain itu, Ketua PD IAI Jawa Tengah juga diminta untuk segera menerapkan Program Aplikasi SIAp di wilayah Jawa Tengah paling lambat dalam waktu 14 hari terhitung sejak tanggal 1 Juli 2020. Surat Peringatan tersebut tidak disertai surat panggilan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Organisasi IAI Nomor PO.003/PP.IAI/1822/III/2019 tentang Sanksi Organisasi. Selanjutnya, PD IAI Jawa Tengah menanggapi Surat Peringatan I tersebut dengan penegasan bahwa IAI Jawa Tengah menyambut baik pelaksanaan SIAp dengan beberapa hal yang harus diselesaikan, terutama masalah iuran yang harus dibayar setiap anggota. “Namun lagi-lagi, IAI Pusat berbuat sewenang-wenang dengan mengirimkan Surat Pemberhentian kepada Jamaludin Al J Effendi Sebagai Ketua PD IAI Jawa Tengah (melalui Surat Keputusan Nomor Kep.085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020),” ungkap Sugito.
Sebelum melayangkan gugatan, lanjut Sugito, kliennya sudah berupaya untuk melakukan komunikasi dengan pengurus pusat sebagai itikad baik. Namun tidak pernah ada respon positif. “Usaha untuk mempertemukan Ketua PD IAI Jawa Tengah dengan Pengurus Pusat IAI juga sudah diupayakan oleh senior-senior apoteker, namun lagi-lagi tidak direspon positif oleh Pengurus Pusat IAI,” tuturnya. “Sehingga menurut penggugat satu-satunya jalan terbaik adalah dengan melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum ke pengadilan,” kata alumnus Universitas Islam Indonesia ini.
Terkait materi gugatan, Sugito menyatakan, pihaknya menilai bahwa perbuatan PP IAI merupakan perbuatan melawan hukum. Untuk itu dalam tuntutan gugatan, pihaknya meminta agar surat keputusan pemberhentian Ketua IAI Jawa Tengah dinyatakan bertentangan dengan hukum. Pihaknya juga meminta Surat Keputusan Pemberhentian Nomor Kep.085/PP.IAI/1822/VII/2020 tertanggal 16 Juli 2020 atas nama Jamaludin dibatalkan. Dan mengembalikan jabatan Ketua Pengurus Daerah IAI Jawa Tengah Kepada Jamaludin. Selain itu, pihaknya juga meminta majelis hakim Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian materiil sebesar Rp. 600 juta dan kerugian immaterial sebesar Rp. 1 miliar. “Kita juga meminta majelis hakim menyatakan Putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu atau Uit Voerbaar Bij Vooraad, walaupun ada bantahan, Banding maupun Kasasi,” pungkas Sugito.
WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Dr Yahya Syam menjelaskan sejumlah upaya hukum dalam penyelesaian kasus pidana ataupun perdata di pengadilan.
Satu di antaranya teknis membuat memori banding di pengadilan.
Menurutnya memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan, karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama.
Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman pidana, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan.
Dalam konteks menolak karena tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Sedangkan bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi.
"Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa ditingkat banding," ujar Yahya dalam siaran tertulis pada Minggu (12/7/2020).
Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi yang digelar LBH Yusuf bertajuk 'upaya hukum putusan perkara pidana dan permasalahannya; di Yusuf Building, Mampang Square, Jakarta Selatan pada Jumat (10/7/2020).
Memori Kasasi
Dalam acara dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf, Dr Ari Yusuf Amir, dan para advokat itu Yahya turur memaparkan langkah membuat Memori Kasasi.
"Kasasi adalah judec juris, bukan judec factie," jelas Yahya.
Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dalam memutus perkara ditingkat judect factie (sesuai pasal 253 KUHAP).
"Dengan demikian menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Apabila membuat alasan memori kasasi diluar ketentuan pasal 253 KUHAP tersebut akan ditolak MA," tuturnya.
Peninjauan Kembali
Ketiga, membuat Alasan Permintaan Peninjauan Kembali (PK). Dalam membuat alasan PK harus mengacu kepada pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu ada 4 alasan yang bersifat alternatif.
Berarti cukup satu saja alasan sudah dapat memenuhi persyaratan pengajukan PK.
"Untuk itu buat secara cermat, logis dan sistematis alasan tersebut," jelas Yahya.
"Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada pada waktu pemeriksaan perkara ditingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan, sehingga, bukan bukti baru dibuat," tambahnya.
Sementara itu pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, diskusi yang digelar hari jumat kemarin merupakan upaya LBH Yusuf untuk kembali mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya.
Harapannya para advokat bisa mempraktekan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," ujar Ari Yusuf.
Lebih lanjut Ari Yusuf mengatakan, selain untuk mengembangkan kapabilitas para advokat, diskusi ini akan rutin digelar terutama untuk topik pembelaan kaum marginal.
"Kami jadwalkan diskusi selanjutnya menggandeng pihak ppatk, BPN, kejaksaan, dan pihak kepolisian," tuturnya
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LBH Yusuf menggelar diskusi bulanan bertajuk “upaya hukum putusan perkara pidana dan permasalahannya”, di Yusuf Building, Mampang Square, Jakarta Selatan, Jumat (10/7/2020).
Bertindak sebagai narasumber dalam acara tersebut adalah Dr. Yahya Syam yang merupakan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Acara dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf, Dr. Ari Yusuf Amir, dan para advokat yang tergabung didalamnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yahya Syam menyampaikan beberapa poin penting dalam teknis membuat memori banding di pengadilan.
Menurutnya memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama.
Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman pidana, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan.
Dalam konteks menolak karena tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Sedangkan bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi.
"Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa ditingkat banding," ujar Yahya.
Kedua, membuat Memori Kasasi. Kasasi adalah judec juris, bukan judec factie. Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dalam memutus perkara ditingkat judect factie (sesuai pasal 253 KUHAP).
"Dengan demikian menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Apabila membuat alasan memori kasasi diluar ketentuan pasal 253 KUHAP tersebut akan ditolak MA," ujarnya.
Ketiga, membuat Alasan Permintaan Peninjauan Kembali (PK). Dalam membuat alasan PK harus mengacu kepada pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu ada 4 alasan yang bersifat alternatif.
"Berarti cukup satu saja alasan sudah dapat memenuhi persyaratan pengajukan PK. Untuk itu buat secara cermat, logis dan sistematis alasan tersebut. Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada pada waktu pemeriksaan perkara ditingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan, sehingga, bukan bukti baru dibuat," katanya.
Sementara itu pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, diskusi yang digelar hari jumat kemarin merupakan upaya LBH Yusuf untuk kembali mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya.
Harapannya para advokat bisa mempraktekan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," ujar Ari Yusuf.
Lebih lanjut Ari Yusuf mengatakan, selain untuk mengembangkan kapabilitas para advokat, diskusi ini akan rutin digelar terutama untuk topik pembelaan kaum marginal.
"Kami jadwalkan diskusi selanjutnya menggandeng pihak ppatk, BPN, kejaksaan, dan pihak kepolisian," katanya
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Diskusi Bulanan LBH Yusuf, Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jelaskan Poin Pembuatan Memori Banding, https://jakarta.tribunnews.com/2020/07/11/diskusi-bulanan-lbh-yusuf-hakim-pengadilan-tinggi-dki-jelaskan-poin-pembuatan-memori-banding?page=2.
Editor: Wahyu Aji
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Diskusi Bulanan LBH Yusuf, Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jelaskan Poin Pembuatan Memori Banding, https://jakarta.tribunnews.com/2020/07/11/diskusi-bulanan-lbh-yusuf-hakim-pengadilan-tinggi-dki-jelaskan-poin-pembuatan-memori-banding.
KBRN, Jakarta : Memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama. Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman pidana, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan.
Demikian dikatakan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Dr. Yahya Syam, dalam diskusi bulanan bertajuk “Upaya Hukum Putusan Perkara Pidana dan Permasalahannya”.
Diskusi bulanan yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf, ini berlangsung di Yusuf Building, Mampang Square, Jakarta Selatan, Jumat (10/7/2020).
Menurut Yahya, dalam konteks menolak karena tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Sedangkan, kata Yahya, bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi.
"Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa di tingkat banding," ujarnya dalam diskusi yang turut dihadiri Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf, Dr. Ari Yusuf Amir, dan para advokat yang tergabung didalamnya.
Lalu membuat Memori Kasasi, lanjutnya, Kasasi adalah judex juris, bukan judex facti. Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dalam memutus perkara di tingkat judex facti (sesuai pasal 253 KUHAP).
"Menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Karena jika tidak, maka akan ditolak MA (Mahkamah Agung)," tuturnya.
Ketiga, membuat alasan Peninjauan Kembali (PK). Dalam membuat alasan PK harus mengacu kepada pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu ada 4 alasan yang bersifat alternatif.
“Berarti cukup satu saja alasan sudah dapat memenuhi persyaratan pengajuan PK. Untuk itu buat secara cermat, logis dan sistematis alasan tersebut,” ucapnya.
“Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada pada waktu pemeriksaan perkara di tingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan. Sehingga, bukan bukti baru dibuat,” tegasnya.
Sementara itu, pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan diskusi yang digelar itu merupakan upaya LBH Yusuf untuk kembali mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya.
Harapannya para advokat bisa mempraktekan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. "Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," pungkas Ari Yusuf.
Jakarta: Terdakwa disebut harus jeli sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Kasasi harus berdasarkan alasan kuat dan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal itu diungkapkan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Yahya Syam dalam diskusi bulanan bertajuk ‘upaya hukum putusan perkara pidana dan permasalahannya’ yang digelar LBH Yusuf, Jumat 10 Juli 2020.
Yahya menyebut banding adalah hak tiap terdakwa yang berupaya mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama.
“Penolakan bisa terjadi karena terpidana merasa tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan,” kata Yahya.
Yahya mengataan, jika terpidana menolak karena merasa tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi.
"Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa di tingkat banding," ujar Yahya.
Yahya menjelaskan, kasasi adalah judec juris, bukan judec factie. Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dalam memutus perkara ditingkat judect factie (sesuai Pasal 253 KUHAP).
"Dengan demikian, menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Apabila membuat alasan memori kasasi di luar ketentuan Pasal 253 KUHAP, akan ditolak MA," katanya.
Selain itu, terpidana juga bisa mengajukan permintaan Peninjauan Kembali (PK). Namun, alasan PK harus mengacu kepada Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Menurutnya alasan cukup satu, namun harus dibuat secara cermat, logis dan sistematis.
“Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada waktu pemeriksaan perkara ditingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan. Sehingga, bukan bukti baru dibuat,” ujarnya.
Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, diskusi itu untuk mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya. Harapannya para advokat bisa mempraktikkan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," ujar Ari Yusuf.
JAKARTA - Pembuatan memori banding dalam menyikapi putusan pengadilan sangat penting bagi seorang advokat atau pengacara. Sebab, memori banding sangat berpengaruh terhadap upaya hukum terdakwa dalam mencari keadilan.
Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Yahya Syam mengatakan, ada beberapa poin penting dalam membuat memori banding di pengadilan. Menurut dia, memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama. Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman pidana, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan.
”Dalam konteks menolak karena tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan,” katanya saat diskusi bulanan yang digelar LBH Yusuf bertajuk ‘Upaya Hukum Putusan Perkara Pidana Dan Permasalahannya’ di Yusuf Building, Mampang Square, Jakarta Selatan, Jumat, 10 Juli 2020.
Narasumber dalam acara tersebut adalah Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Yahya Syam. Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir, dan para advokat yang tergabung di dalamnya. Sedangkan bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi. "Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa ditingkat banding," ujarnya.
Selanjutnya, bagaimana membuat memori kasasi. Menurut dia, kasasi adalah judec juris, bukan judec factie. Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara ditingkat judect factie sesuai pasal 253 KUHAP. "Dengan demikian menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Apabila membuat alasan memori kasasi di luar ketentuan pasal 253 KUHAP tersebut akan ditolak MA," tuturnya.
Ketiga, membuat alasan Permintaan Peninjauan Kembali (PK). Dalam membuat alasan PK harus mengacu kepada pasal 263 ayat 2 KUHAP yaitu, ada empat alasan yang bersifat alternatif. Berarti cukup satu saja alasan sudah dapat memenuhi persyaratan pengajukan PK. ”Untuk itu buat secara cermat, logis dan sistematis alasan tersebut. Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada pada waktu pemeriksaan perkara ditingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan, sehingga, bukan bukti baru dibuat,” ucapnya.
Sementara itu, pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, diskusi ini merupakan upaya LBH Yusuf untuk kembali mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya. Harapannya para advokat bisa mempraktikan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. "Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," ujar Ari.
Selain untuk mengembangkan kapabilitas para advokat, diskusi ini akan rutin digelar terutama untuk topik pembelaan kaum marginal. "Kami jadwalkan diskusi selanjutnya menggandeng pihak PPATK, BPN, kejaksaan, dan kepolisian," tuturnya.
telusur.co.id - LBH Yusuf menggelar diskusi bulanan bertajuk “Upaya Hukum Putusan Perkara Pidana dan Permasalahannya”, di Yusuf Building, Mampang Square, Jakarta Selatan, Jumat (10/7/20).
Hadir sebagai narasumber dalam acara tersebut adalah Dr. Yahya Syam yang merupakan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Acara dihadiri oleh Ketua Dewan Pembina LBH Yusuf, Dr. Ari Yusuf Amir, dan para advokat yang tergabung di dalamnya.
Dalam kesempatan tersebut, Yahya Syam menyampaikan beberapa poin penting dalam teknis membuat memori banding di pengadilan.
Menurutnya memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama. Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan pidana tetapi dijatuhi hukuman pidana, atau karena keberatan tingginya pidana yang dijatuhkan.
Dalam konteks menolak karena tidak melakukan pidana, maka harus mencari argumentasi bahwa terdakwa tidak melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan bukti-bukti yang ada dalam persidangan, dihubungkan dengan unsur-unsur perbuatan yang didakwakan.
Sedangkan bila keberatan karena pidana yang dijatuhkan terlalu tinggi, maka harus mencermati apa pertimbangan majelis hakim sehingga dijatuhi pidana yang tinggi.
"Selain itu perlu juga dikemukakan secara logis maupun sosiologis alasan-alasan yang meringankan pidana terdakwa ditingkat banding," ujar Yahya.
Kedua, membuat Memori Kasasi. Kasasi adalah judec juris, bukan judec factie. Pemeriksaan yang dilakukan adalah apakah ada pelanggaran hukum, apakah hukum tidak diterapkan, atau apakah pengadilan melampaui kewenangan dalam memeriksa dalam memutus perkara ditingkat judect factie (sesuai pasal 253 KUHAP).
"Dengan demikian menyusun memori kasasi harus berdasarkan alasan-alasan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 253 KUHAP. Apabila membuat alasan memori kasasi diluar ketentuan pasal 253 KUHAP tersebut akan ditolak MA," tuturnya.
Ketiga, membuat Alasan Permintaan Peninjauan Kembali (PK). Dalam membuat alasan PK harus mengacu kepada pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu ada 4 alasan yang bersifat alternatif. Berarti cukup satu saja alasan sudah dapat memenuhi persyaratan pengajukan PK.
"Untuk itu buat secara cermat, logis dan sistematis alasan tersebut. Apabila ada keadaan baru atau bukti baru yang sangat menentukan, maka bukti itu sesungguhnya sudah ada pada waktu pemeriksaan perkara ditingkat yudik paksi tetapi belum ditemukan, sehingga, bukan bukti baru dibuat," ujarnya.
Sementara itu pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, diskusi yang digelar hari Jumat kemarin merupakan upaya LBH Yusuf untuk kembali mengingatkan praktisi hukum dalam menjalankan tugasnya.
Harapannya para advokat bisa mempraktekan teori yang sudah didapat dari Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
"Dari diskusi ini semoga para advokat bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat saat menjalankan profesinya," ujar Ari Yusuf.
Lebih lanjut Ari Yusuf mengatakan, selain untuk mengembangkan kapabilitas para advokat, diskusi ini akan rutin digelar terutama untuk topik pembelaan kaum marginal.
"Kami jadwalkan diskusi selanjutnya menggandeng pihak PPATK, BPN, Kejaksaan, dan pihak Kepolisian," tuturnya. [Tp]
radarcom.id – Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustadz di wilayah Jabodetabek yang terdampak Covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 lalu.
Aksi simpatik yang dilakukan oleh pendiri LBH Yusuf yakni Ari Yusuf Amir Panjinegara ini mendapatkan apresiasi positif dari Raja Sekala Brak Kepaksian Pernong Yang Dipertuan Ke-23 Sai Batin Puniakan Dalom Beliau (SPDB) Brigjen Pol (P) Edward Syah Pernong.
“Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Ari Yusuf Gelar Panjinegara. Dimana gelar Panjinegara itu merupakan Gelar Kebangsawanan Keluarga Kerajaan Sekala Brak Kepaksian Pernong Lampung. Segala langkah kepeduliannya dalam membantu masyarakat di bidang hukum, hak asasi dan masalah sosial, ekonomi masyarakat. Termasuk dampak masalah virus Corona ini. Karena pemerintah sudah ambil langkah strategis dengan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB) maka dampak kebijakan PSBB harus ada sinergitas dari komponen elemen masyarakat yang peduli sehingga kita semua bergerak dan berperang melawan Covid-19,” kata Pun Edward sapaan akrabnya.
Lanjut mantan Kapolda Lampung, disinilah kelihatan penanggulangan Corona ini dengan berperang bukan hanya penanggulangan.
“Berperang itu seperti ada dua gendang, dia atau kita yang habis. Disini kita harus habisi Corona ini. Dan saya sangat apresiatif apa yang dilakukan oleh Aryo Yusuf Panjinegara ini dalam berperang melawan Covid-19,” tandasnya.
Sementara itu, Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para ustadz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar danmengisi ceramah. Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
“Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10kg), minyak (2kg), tepung terigu, mie instant, mie telor, biskuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya,” ujar Ari di sela-sela penyaluran bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4/2020).
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Jogjakarta ini mengatakan, minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendriian LBH. kondisi kekinian, lanjut Ari, meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanahair. Situasi menjadi semakin pelik, ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” ujarnya.
Ari menambahkan, dalam madzhab negara hukum/rule of law, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang terberdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD1945.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBHYusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggungjawab untukmemberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggungjawab Negara/pemerintah, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law demi tegaknya hukum dan keadilandi Indonesia.
Narasi di atas menjadi basis moril pendirian LBH Yusuf yang merupakan organisasi bantuan hukum bersifat non profit. (rci/indopos/rci)
KBRN, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) bekerjasama dengan IKA UII menyalurkan APD dan alkes lainnya ke 65 RS di Indonesia. Kegiatan itu sebagai bentuk dukungan dan kepedulian LBH Yusuf terhadap pejuang medis di garda depan melawan pandemi Covid-19.
Sasaran penyaluran difokuskan pada RS yang berada dalam zona merah dan banyak menangani pasien positif. Diantaranya RS Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, RS Harapan kita, dan lain-lain. "Juga beberapa RS di kawasan Jabodetabek dan daerah lainnya," ujar Ari Yusuf Amir selaku pendiri LBH Yusuf, Rabu (29/4/2020).
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Yogyakarta ini mengatakan minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendirian LBH.
Kondisi kekinian, lanjut Ari, meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, kata Ari, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanah air. Situasi menjadi semakin pelik ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” katanya.
Ari menyatakan, dalam madzhab negara hukum/rule of law, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya, sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD 1945.
Atas keresahan itulah, Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko, mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggung jawab untuk memberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggung jawab Negara/pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law, demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
“Narasi di atas menjadi basis moril pendirian LBH Yusuf yang merupakan organisasi bantuan hukum bersifat non profit. Dalam menunaikan tugas advokasinya, LBH Yusuf didukung advokat dan paralegal dengan kompetensi, jaringan, dan pengalaman yang luas di berbagai disiplin hukum,” pungkasnya.
indopos.co.id – Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustadz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 Lalu.
Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para ustadz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar danmengisi ceramah. Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
“Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10kg), minyak (2kg), tepung terigu, mie instant, mie telor, biskuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya,” ujar Ari di sela-sela penyaluran bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4/2020)
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Jogjakarta ini mengatakan, minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendriian LBH. kondisi kekinian, lanjut Ari, meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanahair. Situasi menjadi semakin pelik, ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” ujarnya.
Ari menambahkan, dalam madzhab negara hukum/rule of law, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang terberdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD1945.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBHYusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggungjawab untukmemberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggungjawab Negara/pemerintah, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law demi tegaknya hukum dan keadilandi Indonesia.
Narasi di atas menjadi basis moril pendirian LBH Yusuf yang merupakan organisasi bantuan hukum bersifat non profit. (yay)
Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak corona Covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 Lalu.
Pendiri LBH Yusuf Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para ustaz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar, mengisi ceramah karena pandemi Covid-19. Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
"Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10 kg), minyak (2 kg), tepung terigu, mie instan, mie telor, biscuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya," ujar Ari di sela-sela penyaluran bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4/2020).
Terkait pendirian LBH, alumnus UII Yogyakarta ini mengatakan, minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendriian LBH. kondisi kekinian, lanjut Ari , meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanahair. Situasi menjadi semakin pelik, ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” ujarnya.
Ari menambahkan, dalam madzhab negara hukum/rule of law, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang terberdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD1945.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBHYusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggungjawab untukmemberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggungjawab Negara/pemerintah, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law demi tegaknya hukum dan keadilandi Indonesia.
Narasi di atas menjadi basis moril pendirian LBH Yusuf yang merupakan organisasi bantuan hukum bersifat non profit.
LBH Yusuf didirikan berdasarkan Akta Notaris No39 pada tanggal 25 Februari 2020 atau bertepatan pada tanggal 25 Rajab 1441 H di Jakarta dan telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor:AHU0003638.AH.01.04.Tahun2020.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19.
Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 Lalu.
Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para ustaz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar,mengisi ceramah, dan sebagainya. Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
"Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10kg), minyak (2kg), tepung terigu, mie instant, mie telor,biscuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya," ujar Ari di sela penyaluran bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4/2020)
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Yogyakarta ini mengatakan minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendriian LBH. kondisi kekinian, lanjut Ari , meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanahair. Situasi menjadi semakin pelik, ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” ujarnya.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBHYusuf)
Jakarta, Gatra.com - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampakcovid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 Lalu.
Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para ustaz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar,mengisi ceramah dll. Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
''Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10 kg), minyak (2 kg), tepung terigu, mie instant, mie telor,biscuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya,'' ujar Ari di sela-sela penyaluran bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4).
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Yogyakarta ini mengatakan minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendirian LBH. Kondisi kekinian, lanjut Ari, meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanah air. Situasi menjadi semakin pelik, ketika bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah), ujarnya.
Ari menambahkan, dalam madzhab negara hukum, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang terberdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD1945.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggung jawab untuk memberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggung jawab negara atau pemerintah, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law demi tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia.
AKURAT.CO, Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan Bantuan sosial kepada para Ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19.
Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa syukur atas terbentuknya LBH Yusuf pada akhir Februari 2020 Lalu.
Pendiri LBH Yusuf, Ari Yusuf Amir mengatakan, sudah lebih dari sebulan para Ustaz tak berpenghasilan karena tidak bisa lagi mengajar,mengisi ceramah.
Padahal banyak dari mereka bergantung pada penghasilan harian dari aktivitas-aktivitas mulia tersebut.
"Pada tahap pertama disalurkan 200 paket sembako yang berisi beras (10kg), minyak (2kg), tepung terigu, mie instant, mie telor,biscuit dan masker. Selanjutnya akan dilakukan donasi sosial tahap berikutnya," ujar Ari di sela-sela penyaluran Bantuan sosial, di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (29/4/2020)
Terkait pendirian LBH, Doktor ilmu hukum yang juga alumnus UII Yogyakarta ini mengatakan minimnya akses masyarakat untuk mendapatkan keadilan menjadi hal yang mendasari pendriian LBH.
kondisi kekinian, lanjut Ari, meskipun prinsip utama dalam hukum seperti justice for all, equality before the law selalu digaungkan, namun fakta di lapangan menunjukkan kondisi yang berbeda.
Pun di Indonesia, deficit access to justice dalam beragam kasus hukum yang menimpa kelompok rentan dan tak berdaya masih sering terjadi. Baik dalam ranah perdata, pidana, tata usaha negara, ketenagakerjaan, perlindungan konsumen dan lain-lain.
“Sebuah noktah hitam tentunya bagi upaya penegakan hukum di tanah air. Situasi menjadi semakin pelik, ketika Bantuan hukum kepada mereka belum menjadi arus utama di Indonesia, termasuk oleh Negara (pemerintah),” ujarnya.
Ari menambahkan, dalam madzhab negara hukum/rule of law, negara terikat kewajiban untuk mengakui dan melindungi hak asasi manusia bagi setiap individu, tak terkecuali bagi mereka yang terberdaya secara hukum dan kelompok rentan lainnya. Sebagaimana amanah yang tertuang dalam UUD1945.
Atas keresahan itulah Ari Yusuf Amir dan Sugito, dua pengacara senior yang banyak menangani kasus-kasus besar penuh resiko mendirikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBHYusuf).
Bagi keduanya, secara profetik, tanggungjawab untukmemberikan advokasi bagi masyarakat yang tak berdaya secara hukum dan kelompok rentan, sejatinya bukan hanya tanggungjawab Negara/pemerintah, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak dalam rangka mewujudkan equality before the law demi tegaknya hukum dan keadilandi Indonesia.
Narasi di atas menjadi basis moril pendirian LBH Yusuf yang merupakan organisasi Bantuan hukum bersifat non profit.
LBH Yusuf didirikan berdasarkan Akta Notaris No39 pada tanggal 25 Februari 2020 atau bertepatan pada tanggal 25 Rajab 1441 H di Jakarta dan telah mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Nomor:AHU0003638.AH.01.04.Tahun2020
Dalam menunaikan tugas advokasinya, LBH Yusuf didukung advokat dan paralegal dengan kompetensi, jaringan, dan pengalaman yang luas di berbagai disiplin hukum
![]() |
LBH Yusuf Ajukan Gugatan Praperadilan SP3 Kasus BLBI 2021-07-23 "Kedudukan hukum (legal standing) LBH Yusuf dalam mengajukan gugatan praperadilan ini cukup terang."Jakarta (ANTARA) -LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Ajukan Gugatan Praperadilan SP3 Kasus BLBI 2021-07-23 BORNEONEWS, Jakarta - LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus BLBI oleh Komisi Pemberantasan . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Ajukan Gugatan Praperadilan SP3 Kasus BLBI, Ini Alasannya Artikel ini telah tayang di Tr 2021-07-23 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap |
![]() |
LBH Yusuf Ajukan Gugatan Praperadilan SP3 Kasus BLBI ke PN Jakarta Selatan 2021-07-23 Merdeka.com - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus Bantuan Likuiditas Bank . . . . . |
![]() |
KPK Akhirnya Digugat ke Pengadilan Gegara SP3 Kasus BLBI 2021-07-23 Suara.com - LBH Yusuf mengajukan gugatan praperadilan terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pada kasus BLBI oleh . . . . . |
![]() |
Pentingnya Penegakan Hukum bagi Korporasi Penimbun Barang 2021-07-23 Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19, mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan. Pentingnya penegakan hukum terkait . . . . . |
![]() |
Polisi Harus Tindak Korporasi Penimbun Oksigen 2021-07-23 Jakarta, Gatra.com – Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir meminta aparat kepolisian menindak korporasi yang diduga menimbun oksigen, obat-obatan, alat kesehatan (alkes), hingga . . . . . |
![]() |
Marak Kasus Penimbunan Obat, Pakar Hukum Minta Aparat Selidiki Keterlibatan Korporasi Artikel ini t 2021-07-23 jpnn.com, JAKARTA - Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan Covid-19 mendorong aparat kepolisian gencar melakukan operasi terhadap para pelaku penimbunan. Menanggapi hal ini, . . . . . |
![]() |
Kasus Penimbunan Obat, Ari: Proses Juga Korporasi 2021-07-23 KBRN, Jakarta: Pakar Hukum Pidana Korporasi Ari Yusuf Amir menekankan tentang pentingnya penegakan hukum terkait pertangungjawaban pidana bagi korporasi penimbun barang. Hal itu . . . . . |
![]() |
Ari Yusuf Amir Minta Korporasi Penimbun Alat Kesehatan dan Obat saat Pandemi Dijerat Hukum Maksimal 2021-07-23 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Melonjaknya harga obat dan oksigen untuk penanganan |
![]() |
Presiden harus menindaklanjuti laporan Komnas HAM 2021-01-11 Minggu, 10 Jan 2021 21:54 WIB Hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa terbunuhnya . . . . . |
![]() |
HRS bukan musuh negara 2020-11-09 Telah 20 tahun kami mengikuti kegiatan-kegiatan Habib Rizieq Shihab (HRS), dan selama itu tak ada satu pun kiprah dan tindakannya yang dapat diklasifikasikan mengancam keutuhan NKRI dan ideologi . . . . . |
![]() |
Berujung di Meja Hijau, Sidang Perdana Gugatan Pencopotan Ketua IAI Jateng Digelar di PN Jakbar 2020-11-09 WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pencopotan sepihak jabatan Ketua IAI Jawa Tengah, Drs. Jamaludin Al J Effendi, M. Farm, Apt yang dilakukan oleh Pengurus Pusat (PP) IAI . . . . . |
![]() |
Sidang Perdana Gugatan Pencopotan Ketua IAI Jateng 2020-11-06 telusur.co.id - Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah IAI Jawa Tengah menghadiri sidang perdana Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum . . . . . |
![]() |
Pengacara Senior Ari Yusuf Amir Terbitkan Buku Soal Pidana Korporasi 2020-11-03 WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Pengacara senior yang juga pakar hukum pidana korporasi |
![]() |
PP Ikatan Apoteker Indonesia Digugat di PN Jakarta Barat 2020-11-03 JAKARTA - Pengurus Pusat (PP) Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) digugatKetua Pengurus Daerah (PD) IAI Jawa Tengah, Jamaludin Al-J. Efendi. Gugatan ini . . . . . |
![]() |
Tuntut Keadilan, Ketua IAI Jateng Gugat Pengurus Pusat 2020-11-03 jpnn.com, JAKARTA - Ketua Pengurus Daerah (PD) Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Jawa Tengah, Jamaludin Al-J. Efendi menggugat Pengurus Pusat (PP) IAI. Gugatan ini . . . . . |
![]() |
Hakim Pengadilan Tinggi DKI, Dr Yahya Syam Paparkan Memori Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali 2020-07-12 WARTAKOTALIVE.COM, JAKARTA - Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Dr Yahya Syam menjelaskan sejumlah upaya hukum dalam penyelesaian kasus pidana ataupun perdata di . . . . . |
![]() |
Diskusi Bulanan LBH Yusuf, Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jelaskan Poin Pembuatan Memori Banding. 2020-07-12 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - LBH Yusuf menggelar diskusi bulanan bertajuk “upaya hukum putusan . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Hadirkan Hakim PT DKI di Diskusi Bulanan 2020-07-12 KBRN, Jakarta : Memori banding merupakan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan karena menolak putusan pengadilan tingkat pertama. Penolakan bisa lahir karena terpidana tidak melakukan perbuatan . . . . . |
![]() |
Terdakwa Harus Jeli Mengajukan Banding 2020-07-12 Jakarta: Terdakwa disebut harus jeli sebelum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Kasasi harus berdasarkan alasan kuat dan sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). |
![]() |
Hakim Pengadilan Tinggi Beberkan Cara Menyusun Memori Banding Hingga PK 2020-07-12 JAKARTA - Pembuatan memori banding dalam menyikapi putusan pengadilan sangat penting . . . . . |
![]() |
Diskusi Bulanan LBH Yusuf, Hakim PT DKI Sampaikan Poin Penting Membuat Memori Banding 2020-07-12 telusur.co.id - LBH Yusuf menggelar diskusi bulanan bertajuk “Upaya Hukum Putusan Perkara Pidana dan Permasalahannya”, di . . . . . |
![]() |
Raja Sekala Brak Apresiasi Kepedulian LBH Yusuf Berperang Lawan Covid-19 2020-05-10 radarcom.id – Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustadz di wilayah Jabodetabek yang terdampak Covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Salurkan APD dan Alkes Untuk 65 RS 2020-05-10 KBRN, Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) bekerjasama dengan IKA UII menyalurkan APD dan alkes lainnya ke 65 RS di Indonesia. Kegiatan itu sebagai bentuk dukungan dan kepedulian LBH . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Salurkan Bansos untuk 200-an Ustaz di Jabodetabek 2020-05-10 indopos.co.id – Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustadz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk . . . . . |
![]() |
Donasi Sembako untuk Ustaz di Jabotabek Terdampak Covid-19 2020-05-10 Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak corona Covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Salurkan Bansos untuk 200 Ustaz di Jabodetabek yang Terdampak Covid-19 2020-05-10 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19. Bantuan ini diberikan . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Salurkan Bansos untuk 200 Ustadz di Jabodetabek 2020-05-10 Jakarta, Gatra.com - Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan bantuan sosial kepada para ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampakcovid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa . . . . . |
![]() |
LBH Yusuf Salurkan Bantuan Sosial untuk Ratusan Ustaz di Jabodetabek 2020-05-10 AKURAT.CO, Lembaga Bantuan Hukum Yusuf (LBH Yusuf) menyalurkan Bantuan sosial kepada para Ustaz di wilayah Jabodetabek yang terdampak covid-19. Bantuan ini diberikan sebagai bentuk rasa . . . . . |